Leiden hari minggu, dari setiap lorong dan sudut kota terdengar lonceng gereja. Burung burung camar terbang dan singgah ditiang tiang layar. Jalan sepi selain mereka yang bergegas menuju rumah tuhan.
Bahkan kepada tuhan aku tak akan sanggup bercerita tentang kamu, yang riang selaksa
belalang singgah dipucuk ilalang, atau seelok kekupu yang sayapnya rapuh setipis selendangmu ?.. Aku tak mampu menggambarkan senyum yang merekah dari ungu warna bibirnmu.
Sembari melukis gerimis yang berjinjit diatas daun pakis, aku kenangkan waktu yang sekejap kita pinjam dan cinta yang erat kita labuhkan. Sebentar lagi senja menemui bulan, dan malam sesunyi biara. Aku, seekor cicak menggelayut didahan pohon enau, mencari kekupu yang pernah terbang dari bibirmu. Dadaku basah berdarah, merembes dari jantungku yang pilu. Lalu menetes kelantai, membentuk kubangan, kusaksikan kenangan selaksa bergambar wajahmu. Cinta ini menggigil bagai musim gugur, sedang kerinduan meranggas bagai ganggang sulur.
Di Leiden, sungai sungai kecil melintasi kota. Jembatan batu, perahu kayu, kincir angin dan gerimis tiba tiba. Ada serumpun daun dan bunga teratai yang mengambang disungai depan rumah. Sepasang belibis berenang mencari ikan dan sembunyi di ranting pohon yang menggelayut keair, lalu berkasih kasihan. Jalan batu yang berkelok memisahkan diri dari sungai, memasuki gang gang kecil. Dengan sepeda gayung. aku menyusuri waktu menyaksikan rumah rumah dan gereja tua. Di jendela bunga
bunga dan boneka mungil. Selaksa angin aku mengikuti rindu mengenangkan waktu bersamamu di deras hujan dan diladang jagung.
Kau ingat kita berjumpa dibukit cemara. Bagai gerimis bertemu lumpur, kita mabuk tetapi bukan karena anggur. Engkau berbisik ditelingaku dan aku ketelingamu, tentang bulan yang hampir tiada. Lalu kau bercerita tentang kelopak bunga dengan bahasa asing yang bunyi dan iramanya terdengar indah. Setelah seribu ciuman, rembulan basah, jalan jalan basah, batu batu basah, daun daun jagung basah, tubuhmu basah. Malam rentah dan tanpa aba aba kita menggeliat seirama. Aku, embun menguap sirna memasuki tubuhmu. Sebelum getar, geliat dan desah, bahumu menyerah dan tubuhmu serapuh kenangan seerat pelukan. Kita tiada, yang ujud hanya peluk, cium dan cinta. Malam hampir pupus tetapi cinta masih dahaga.
Malam ini aku kenangkan desaku ditimur jawa. Padi padi menguning, yanyian katak, rintik hujan dan derai angin meniup daun bambu. Desa ibuku, yang lalu tenggelam menjadi masa lalu, yang lalu hilang dalam catatan buku harianku. Anak anak yang rumahnya terkubur, kedinginan dilupakan rembulan. Tetapi engkau menyelinap dengan binar matamu yang seteduh telaga dimusim rindu. Rambutmu yang sehitam malam seharum melati menyimpanmimpiku tentang kemilau bintang, dengan sayap pelangi berdua kita akan terbang. Kau pikir rembulan akan tersenyum ?.... atau akan menangis sederas gerimis
Bahkan kepada tuhan aku tak akan sanggup bercerita tentang kamu, yang riang selaksa
belalang singgah dipucuk ilalang, atau seelok kekupu yang sayapnya rapuh setipis selendangmu ?.. Aku tak mampu menggambarkan senyum yang merekah dari ungu warna bibirnmu.
Sembari melukis gerimis yang berjinjit diatas daun pakis, aku kenangkan waktu yang sekejap kita pinjam dan cinta yang erat kita labuhkan. Sebentar lagi senja menemui bulan, dan malam sesunyi biara. Aku, seekor cicak menggelayut didahan pohon enau, mencari kekupu yang pernah terbang dari bibirmu. Dadaku basah berdarah, merembes dari jantungku yang pilu. Lalu menetes kelantai, membentuk kubangan, kusaksikan kenangan selaksa bergambar wajahmu. Cinta ini menggigil bagai musim gugur, sedang kerinduan meranggas bagai ganggang sulur.
Di Leiden, sungai sungai kecil melintasi kota. Jembatan batu, perahu kayu, kincir angin dan gerimis tiba tiba. Ada serumpun daun dan bunga teratai yang mengambang disungai depan rumah. Sepasang belibis berenang mencari ikan dan sembunyi di ranting pohon yang menggelayut keair, lalu berkasih kasihan. Jalan batu yang berkelok memisahkan diri dari sungai, memasuki gang gang kecil. Dengan sepeda gayung. aku menyusuri waktu menyaksikan rumah rumah dan gereja tua. Di jendela bunga
bunga dan boneka mungil. Selaksa angin aku mengikuti rindu mengenangkan waktu bersamamu di deras hujan dan diladang jagung.
Kau ingat kita berjumpa dibukit cemara. Bagai gerimis bertemu lumpur, kita mabuk tetapi bukan karena anggur. Engkau berbisik ditelingaku dan aku ketelingamu, tentang bulan yang hampir tiada. Lalu kau bercerita tentang kelopak bunga dengan bahasa asing yang bunyi dan iramanya terdengar indah. Setelah seribu ciuman, rembulan basah, jalan jalan basah, batu batu basah, daun daun jagung basah, tubuhmu basah. Malam rentah dan tanpa aba aba kita menggeliat seirama. Aku, embun menguap sirna memasuki tubuhmu. Sebelum getar, geliat dan desah, bahumu menyerah dan tubuhmu serapuh kenangan seerat pelukan. Kita tiada, yang ujud hanya peluk, cium dan cinta. Malam hampir pupus tetapi cinta masih dahaga.
Malam ini aku kenangkan desaku ditimur jawa. Padi padi menguning, yanyian katak, rintik hujan dan derai angin meniup daun bambu. Desa ibuku, yang lalu tenggelam menjadi masa lalu, yang lalu hilang dalam catatan buku harianku. Anak anak yang rumahnya terkubur, kedinginan dilupakan rembulan. Tetapi engkau menyelinap dengan binar matamu yang seteduh telaga dimusim rindu. Rambutmu yang sehitam malam seharum melati menyimpanmimpiku tentang kemilau bintang, dengan sayap pelangi berdua kita akan terbang. Kau pikir rembulan akan tersenyum ?.... atau akan menangis sederas gerimis
1 comment:
Kubaca smua tulisan jenengan dan suka kurasa.... Salam kenal dari anak kampung dari gunung kidul...mencoba belajar dari kehidupan...
Post a Comment