Followers

Sunday, April 15, 2012


Cicak memanjat tembok basah,

merayapi langit langit tua

adalah akhir dari nasib serangga



selembar daun jatuh kesungai,

menjadi perahu anak kekupu.



teratai kuning

dan langit hening

yanyian malam

dan harum kembang

gerimis runtuh didaun bambu

dan angin sepoi meniup rambutmu



Aku menggambar mendung. Lalu hujan benar turun.

Kita menyeberangi sungai bintang

memasuki lubang malam.

Bagai buah semangka, bulan purnama  kita belah.

dan sebuah payung, bila hujan tak redah.

Monday, March 26, 2012


Perempuan berkepang ingin menjadi embun, terbang ke awan, bertamasyah  ke bulan dan singgah dari bintang ke bintang. Namun ketika menyaksikan putri senja mengurai rambutnya, perempuan berkepang cemburu  akan keelokan warna langit yang dijadikannya payung. Maka perempuan  menyembunyikan senyumnya dibalik mendung.
Malam yang berjalan dari timur, dihadang sebuah senyuman yang hendak menjelma tangis, segumpal senyuman  yang mencari ibundanya yang konon bersayap kabut.
Lalu malam mencari ibundanya, mendapatkan perempuan berkepang bersayap bulan. Tetapi bulan tidak bisa terang tanpa adanya malam. Maka untuk menyalakan lampu langit seusai senja menutup payungnya, malam menghukum perempuan berkepang dengan menjatuhkannya ke atas selembar daun jati. Ia menjadi embun.

Monday, March 5, 2012

Departure

As quick as the night leaves the mountain range
I am smoke turning into the morning fog
And you are the wood turning into embers
Some day we will meet again on the mountain
I descend and turn into the rain
While you will turn into the branches
And perhaps the leaves of the cypress ?
As the mist and the grass
We will embrace once more

perpisahan

secepat malam meninggalka bebukitan
aku asap menjelma awan
sedang engkau kayu menjelma
arang
kelak kita akan jumpa di bukit itu lagi bukan ?
aku turun menjelma hujan
sedang engkau akan menjadi reranting
dan dahan cemara bukan ?..
dan selaksa embun dan rerumputan
kita akan kembali berperlukan

XU CUN 2011

Sunday, February 19, 2012

Cerita pendek dari belanda

Leiden hari minggu, dari setiap lorong dan sudut kota terdengar lonceng gereja. Burung burung camar terbang dan singgah ditiang tiang layar. Jalan sepi selain mereka yang bergegas menuju rumah tuhan.

Bahkan kepada tuhan aku tak akan sanggup bercerita tentang kamu, yang riang selaksa
belalang singgah dipucuk ilalang, atau seelok kekupu yang sayapnya rapuh setipis selendangmu ?.. Aku tak mampu menggambarkan senyum yang merekah dari ungu warna bibirnmu.

Sembari melukis gerimis yang berjinjit diatas daun pakis, aku kenangkan waktu yang sekejap kita pinjam dan cinta yang erat kita labuhkan. Sebentar lagi senja menemui bulan, dan malam sesunyi biara. Aku, seekor cicak menggelayut didahan pohon enau, mencari kekupu yang pernah terbang dari bibirmu. Dadaku basah berdarah, merembes dari jantungku yang pilu. Lalu menetes kelantai, membentuk kubangan, kusaksikan kenangan selaksa bergambar wajahmu. Cinta ini menggigil bagai musim gugur, sedang kerinduan meranggas bagai ganggang sulur.

Di Leiden, sungai sungai kecil melintasi kota. Jembatan batu, perahu kayu, kincir angin dan gerimis tiba tiba. Ada serumpun daun dan bunga teratai yang mengambang disungai depan rumah. Sepasang belibis berenang mencari ikan dan sembunyi di ranting pohon yang menggelayut keair, lalu berkasih kasihan. Jalan batu yang berkelok memisahkan diri dari sungai, memasuki gang gang kecil. Dengan sepeda gayung. aku menyusuri waktu menyaksikan rumah rumah dan gereja tua. Di jendela bunga
bunga dan boneka mungil. Selaksa angin aku mengikuti rindu mengenangkan waktu bersamamu di deras hujan dan diladang jagung.

Kau ingat kita berjumpa dibukit cemara. Bagai gerimis bertemu lumpur, kita mabuk tetapi bukan karena anggur. Engkau berbisik ditelingaku dan aku ketelingamu, tentang bulan yang hampir tiada. Lalu kau bercerita tentang kelopak bunga dengan bahasa asing yang bunyi dan iramanya terdengar indah. Setelah seribu ciuman, rembulan basah, jalan jalan basah, batu batu basah, daun daun jagung basah, tubuhmu basah. Malam rentah dan tanpa aba aba kita menggeliat seirama. Aku, embun menguap sirna memasuki tubuhmu. Sebelum getar, geliat dan desah, bahumu menyerah dan tubuhmu serapuh kenangan seerat pelukan. Kita tiada, yang ujud hanya peluk, cium dan cinta. Malam hampir pupus tetapi cinta masih dahaga.

Malam ini aku kenangkan desaku ditimur jawa. Padi padi menguning, yanyian katak, rintik hujan dan derai angin meniup daun bambu. Desa ibuku, yang lalu tenggelam menjadi masa lalu, yang lalu hilang dalam catatan buku harianku. Anak anak yang rumahnya terkubur, kedinginan dilupakan rembulan. Tetapi engkau menyelinap dengan binar matamu yang seteduh telaga dimusim rindu. Rambutmu yang sehitam malam seharum melati menyimpanmimpiku tentang kemilau bintang, dengan sayap pelangi berdua kita akan terbang. Kau pikir rembulan akan tersenyum ?.... atau akan menangis sederas gerimis

Saturday, February 11, 2012

Sidemen - Masih akan kita dengar kidung dari pura

Ketika angin lewat, daun daun bambu mendesah dan
bertebaran bunga bunga jambu, putih kemerahan
diatas sungai ada kabut yang turun bersama senja
selaksa sekumpulan bidadari yang hendak mencuci rambutnya.
Tetapi bukan cemara dan pucuk pucuknya menggapai malam,
nyanyian katak,serangga dan unggas
malam

Sedang air matamu menetes selaksa embun
dan jemarimu yang kau ulurkan menggapai rindu
tentang sunyi sebelum rumah rumah kokoh kau biarkah tumbuh
dan menabur debu debu kota ke jelita wajamu
maka, jangan menangis manis
karena bunga bunga kamboja akan lekas gugur seiring gerimis
dan aromanya bercampur asap dupa 
masih akan kita dengar kidung dari Pura.

kepada kabut - rindu dan larut















Tuesday, February 7, 2012

Thursday, February 2, 2012

hujan, tidak jarang

gerimis dan hujan menderai kotamu
sebasah kelamin kerbau menjelang musim kawin

angin bertiup dan dingin di bulan februari
musim semrawut dan kabut datang tanpa nomer urut
pantai dan pasir yang kau ingkari janji
memilih mengenakan kaos kaki dan jaket musim semi

Wednesday, February 1, 2012

Juli duaribu sebelas

Dari kota menuju utara,
gerimis, jendela kereta dan kabut mengaburkan cakrawala.

Tiba tiba aku ingat bebukit cemara,
lalu rumah kita
kemudian angin berderai dan diladang daun daun ketela

Bulan Juli: terik disiang dan kabut dipagi
tulisan biru didinding batu
Traktor traktor menjemput pekerja menggali batubara

Dari Jendela kereta, aku ingat kita berdansa
dan malam berujung cinta

Monday, January 16, 2012

Saturday, January 14, 2012

Sunday, January 8, 2012

kembali di Sydney

Sudah empat mingguan aku kembali tinggal di kota Sydney - setelah hampir dua tahun meninggalkan kota ini. Kembali aku hirup udara segar dan air laut yang jernih untuk berenang. Kadang matahari terlalu terik dan angin kering membuat kulitku pecah atau kelopak mataku terasa nyerih. Namun pepohonan di sepanjang jalan kecil di depan rumahku cukup menakjubkan dibanding dengan jalan jalan di Ubud atau di Surabaya. Sejak menjelang natal dan tahun baru, bila malam lampu kelap kelip, ada kesan seperti di Bali upacara berdasarkan agama ini cukup memperelok kota.

Mengunjungi Museum seni kontemporer dan juga Gallery New South Wales menyaksikan Picasso. Pameran dari Museum Picasso di Paris yang aku kunjungi di bulan Agustus tahun lalu - yang ternyata malah sedang berada di Sydney - eh tidak begitu menakjubkan. Aku suka Picasso tapi pameran ini hanya satu atau dua karya yang sangat menakjubkan.

Dua malam yang lalu ad apembukaan festival Sydney. Aku tertarik untuk melihatnya tapi tidak berkesempatan untuk menghadiri pembukaannya. Festival festival dikota lain selalu aku rindukan, sedang festival di kota sendiri enggan aku ikuti. Barangkali semacam gajah di pelupuk mata tak nampak sedang kuman diseberang lautan nampak.

Saturday, January 7, 2012

Less talk more love








XU CUN

Your village
paper cutout, like magnolia petals glued in glass windows,
within my mind, drizzle never stops
line by line of quiet songs.
On the streets, red lanterns
Rain soaks our hair and shoulders
floods our shoes
A river splits into creeks
and then fuses to
unite memories.
Fog crawls down the stairs, clinging to pine branches
And gently touches your roof.
From the roof of the restaurant, I
see the sun rest its head on the shoulder of your hill
followed by a crescent
moon.
Dusk is an ancient
serenade
you recite over
and over, but still as sweet as
first love.
I fall into the night, drifting
Like a log on the summer river,
Searching for your soul.
You, drizzle tiptoeing over the weeds
The cornfield
suspension bridge
the path to the bush and the hills
flowers by flowers,
pebbles by pebbles
The mud walls and the ancient
doors
house of bees and a lonely butterfly
infinite misty mountains along our way
to find nights,
faded stars, soft mist
the wind revealing the curtain.
The light from the broken window that
exposes your purple lips.
Before your song
fades into the fog
I fall into the night, drifting.
And like a seagull along the coast in
autumn,
I seek your face
on the horizon untouched.
But you the drizzle tiptoeing over weeds.
When I am the hill and you are the thorny grass and campanulas
Grow and become wild!
But I am a river
waiting for you to become a canoe.
Perhaps, time will displace longing
Or we will unite once more
to throw pebbles in the creek
or gather the dew from
the morning grass.

Thursday, January 5, 2012

Perempuan Bali

Engkau yang berteriak disepanjang pematang pagi
Mengusir burung burung pencuri padi,
Engkau yang membakar dupa sebelum senja berakhir sunyi
Yang meletakkan sesaji mungil berisi secuil lauk
dan lima butir nasi
seiris daun pandan dan setangkai melati.
Engkau yang bersandar dijendela, membangkitkan aroma kehidupan yang nampak dan yang
sembunyi.

Dan engkau pula yang menyunggi bebatu melampaui
pilu
Menyusuri jalan licin
Dan engkaukah yang menangis karena gerimis ?....
Mengenangkan kekasihmu kerana anakmu lapar menangis
Cinta adalah dongeng pembakaran Sinta dengan
kobaran api Rama
Sedang rindu adalah waktu yang mengikat lehermu
dengan masa lalu

Embun diatas daun pandan yang hendak terbang
beriring pagi pulang
Ada puisi yang abadi ada nyanyian yang menguap
menjadi asap dan meninggalkan letih dan sunyi.

Surat Cinta

Demi kota kota yang kita singgahi dan wajah wajah
yang kita kenang abadi
Asap dupa dan derai angin gurun yang menyusuri sungai lembah
Pucuk pucuk cemara dan kereta dari Leiden ke paris
Dari Tulamben hingga gerimis
Kekasihku dan angin berderai yang aku lukis
sebelum malam berakhir gerimis

Demi angin yang mengangkat kabut meninggalkan pagi
demi pagi yang mengantarkan embun menemui matahari
demi matahari yang mengikiskan jalan jalan basah yang hendak kita lalui
dan demi laut yang meredam letih dan menyimpan sunyi.

Demi nyanyian malam, aroma melati dan nyanyian serangga,
mari berjalan memasuki cinta, menuju cakrawala dan
hingga bayang bayang tak tersisah.
Mari bercinta selaksa sepasang bunga kamboja, basah dan purba hingga bianglala

Engkau yang bernyanyi menyusuri embun di sepanjang pematang pagi
engkau yang menari menyambut jemari melupakan mimpi mimpi tentang kota sunyi
dan tentang pulau pulau pasir tanpa angin berdesir
Engkau
dan setangkai bunga lentana

drawing

drawing

drawing

drawing



GREETING

Welcome to my little world, it is a world within a world, within my dream, within my drawing and painting. An artist is an artist, wether you were born like that or like this. Art is to make or not to make.