( Embun jatuh kejurang membentur bebatu, remuk tapi tanpa riuh, bisu. Maka, diijurang berbaringlah segala gelap itu ).
Senja
Lalu senja rebah, mendekap matahari dengan sayapnya, kabut.
Lembut, dipasir laut, sehelai menyangkut di reranting berlumut.
Ada jingga tapi pelangi tak sesempurna biasanya.
Kabut ditiup angin, dan bibirmu menggigil dingin.
Sedang mega mega yang turun, begitu anggun mengurung gunung.
Seekor kekupu hinggap didahan limau, dimana kau ikat kertas bertulis puisi.
Ketika angin berderai; puisimu melambai.
Manis, manis..... rambutmu berderai panjang hingga menyentuh pucuk pucuk musim semi. Kelak, kita akan duduk diatas bebatu, memandang musim berlalu dan waktu melaju.
Dan didepanku engkau kupeluk, membiarkan aku menciumi rambutmu, ke- seribu.
lilin
Pucuk pucuk cemara meliuk dan mendesah.
Malam berciuman dengan kelam, bukit bersenggama dengan langit.
Gelap tak pekat dikarena lilin.
Kabut membalut langit, tapi angin menggendong rembulan dengan senyumnya gamang.
Lewat jendela, ia menyelinap kekamarmu, mengharap jemarimu mengusap airmatanya, embun.
Lalu diciumnya bibirmu yang mungil, dari lehermu menguap harum bunga mawar.
Sedang matamu sebegitu teduh, mengulum luka luka dijiwaku.
Embun
Dipunggung gunung ladang ladang gubis, kentang, rerumput dan reranting kering.
Dan desir pasir dan desah cemara.
Malam berbaring disini, bulan putih dan bunyi kecapi.
Segumpal embun menantimu didahan melati.
No comments:
Post a Comment